Gudang Ilmu Pengetahuan

Wisata Di Gunung Teh Bengkulu

Silakan Di Baca dan Di Ambil .. semoga bermamfaat.. Jangan Lupa Comennya Like dan Follownya,, Welcome Beack (_)

Weadding yang bahagia.. kapan giliran kamu!!!!

Silakan Di Baca dan Di Ambil .. semoga bermamfaat.. Jangan Lupa Comennya Like dan Follownya,, Welcome Beack (_)

Refresing Ke Kebun Teh KABAWETAN Kepahiang, Bengkulu

Silakan Di Baca dan Di Ambil .. semoga bermamfaat.. Jangan Lupa Comennya Like dan Follownya,, Welcome Beack (_)

Santai

Silakan Di Baca dan Di Ambil .. semoga bermamfaat.. Jangan Lupa Comennya Like dan Follownya,, Welcome Beack (_)

Shoping Ke Palembang Squwer dan Ke MONPERA

Silakan Di Baca dan Di Ambil .. semoga bermamfaat.. Jangan Lupa Comennya Like dan Follownya,, Welcome Beack (_)

Pages

Monday, 30 November 2015

Filsafat Islam Tentang Tuhan, Alam, dan Manusia

Filsafat Islam Tentang Tuhan, Alam, dan Manusia


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….      
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………      
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………………….      
A.    Latar Belakang……………………………………………………………..        
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………         
C.     Tujuan Pembahasan……………………………………………………….         
BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………………..      
A.    Konsep Tuhan di Dalam Filsafat Islam…………………..……………….         
1.      Konsep Ketuhanan Al Farabi………………………………………….
2.      Konsep Ketuhanan Ibnu Sina…………………………………………
3.      Analisis Perbandingan…………………………………………………
B.     Konsep Alam di Dalam Filsafat Islam …………..………………..……...          
1.      Konsep Alam Al Ghazali……………………………………………...
2.      Konsep Alam Ibnu Rasyd…………………………………………….
3.      Konsep Alam Al Farabi……………………………………………….
C.     Konsep Manusia di Dalam Filsafat Islam ……………………………….           
1.      Jiwa…………………………………………………………………….
2.      Akal Sebagai Wujud Jiwa……………………………………………..
3.      Panca Indera…………………………………………………………...
BAB III : PENUTUP…………………………………………………………………...      
A.    Kesimpulan…………………………………………………………………       
B.     Kritik dan Saran……………………………………………………………        
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….       

  



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Ada 3 konsep filsafat Islam, yaitu Tuhan, alam, dan manusia. Dimakalah ini, pemakalah akan membahas 3 konsep tersebut berdasarkan para filsuf-filsuf muslim diantaranya al Farabi, Ibnu Sina, al Ghazali, Ibnu Rusyd.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa konsep Tuhan menurut para filsuf Islam?
2.         Apa konsep Alam menurut para filsuf Islam?
3.         Apa konsep Manusia menurut para filsuf Islam?

C.       Tujuan Pembahasan
1.         Untuk mengetahui apa konsep Tuhan menurut para filsuf
2.         Untuk mengetahui apa konsep Alam menurut para filsuf Islam
3.         Untuk mengetahui apa konsep Manusia menurut para filsuf Islam 
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Konsep Tuhan di Dalam Filsafat Islam
Berbicara tentang ketuhanan, berarti membicarakan sebuah konsep yang menjadi salah satu cabang filsafat yang umurnya seumur peradaban manusia itu sendiri.
Dari sudut pandang Islam, sendirinya wacana ketuhanan adalah salah sebuah cabang keilmuan tersendiri. Al-Qur’an menyebut kata ‘Allah’ sebanyak 2072 kali. Ini sekiranya sudah cukup menjadi bukti bahwa eksistensi Tuhan di dalam Islam terbukti. Maka tersebutlah nama Abu Nasr ibn al Farakh al Farabi dan  Abu ‘Ali al Husain ibn’Abdullah ibn Sina. Kedua Filsuf Neo-Platonism[1] memang sedikit unik, karena meskipun secara tidak langsung namun mereka berdua mempunyai hubungan ‘murid dan guru’. Al Farabi (260-339 H/ 873-950 M) adalah salah seorang filsuf Muslim yang mengasimilasi konsep ketuhanan Aristoteles, dan barulah sekitar satu abad berikutnya Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M) datang dengan konsep yang mengasimilasi lebih jauh filsafat Aristoteles, sekaligus menyempurnakan karya al Farabi.

1.         Konsep Ketuhanan al Farabi
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwasanya al Farabi adalah salah seorang filsuf Neo-Platonism. Konon, dengan hadirnya al Farabi, jadilah dirinya Filsuf pertama yang membangun Neo-Platonism di dunia Islam. 
Tuhan, menurut al Farabi baginya Allah adalah sebab pertama bagi segala sesuatu di dunia ini (al Maujud al Awwal).  Bagi al Farabi, segala sesuatu yang bersifat  ada di dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud (Allah) dan mumkin al wujud (Alam Semesta).
Maka sebelum kita beranjak lebih jauh untuk memahami konsep Wajib al wujud dan mumkin al wujud, kiranya kita untuk memahami teori gerak Aristoteles yang menjadi dasar argumen ketuhanan al Farabi.
Menurut Aristoteles, setiap yang berwujud memiliki kemampuan untuk bergerak.  Gerak, menurut Aristoteles adalah perpindahan dari potensi ke aksi.  Perpindahan tersebut dilakukan karena adanya pelaku. Dan pelaku ini tidaklah lain sebagai seorang  penggerak yang tidak bergerak Sebagai asal muasal  dari setiap pergerakan yang ada di dunia ini.
Dan teori gerak inilah yang digunakan al Farabi untuk menjelaskan konsep wujudnya. Bagi al-Farabi, mumkin al wujud di dalam ciptaan di dunia ini membutuhkan adanya Wajib al wujud yang menggerakkan secara sistematis perputaran alam semesta ini.
Di sinilah terlihat bagaimana al Farabi berhasil memformulasikan filsafat Neo-Platonism di dalam Islam. Kaitannya, dalam menerangkan Tuhan. Allah merupakan  Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang ada dan merupakan sebab pertama bagi setiap yang bergerak. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, ia tidak bisa disamakan dengan materi yang lain di alam, dan dia juga sebagai objek pengetahuan. Maka jadilah konsep Allah dalam pandangan al Farabi adalah Tuhan yang Wajib al Wujud. Tuhan yang baik secara wujud dan esensi tidak terpisah.

2.         Konsep Ketuhanan Ibnu Sina
Ibnu Sina, sebagai salah seorang yang juga dipengaruhi Neo-Platonism lewat tangan al Farabi secara umum tidak jauh beda. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan pendekatanontologis[2] sebagaimana telah dipaparkan oleh al Farabi.
Ibnu Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan sebagaimana berikut, “Sesungguhnya sebab (‘illah) atas tidak ada (‘adam)-nya sesuatu adalah sebab ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah perihal yang mewajibkan daripadanya wujud.” Di sini Ibnu Sina mengawali pendapatnya dengan sebuah kelaziman betapa setiap  yang ada wajiblah daripadanya sebab yang menjadikan ada itu ada.
Namun, tatkala  ditemukan sebab yang membuat ada itu tidak ada, Ibnu Sina tidak serta merta memutuskan bahwa sebab itulah yang menyebabkan tidak ada-nya ada itu. Hal ini dikarenakan jikalau setiap  ada menjadi ada dikarenakan sebab yang menyebabkan ada  itu ada dari tidak ada maka yang akan terjadi adalah jika tidak ada sebabyang menyebabkannya ada, maka ada itu akan abadi di tidak ada.
Di sini Ibnu Sina menyatakan, bahwa ketiadaan adalah kondisi pertama yang dimiliki sebuah ada sebelum ia berwujud nyata. Maka dipastikanlah, setiap yang ada di dunia berasal dari ketiadaan dan adanya sebab di luar zat ada yang bertugas ‘mengeluarkan’  adadari sebab. Gejala semacam inilah yang dinamakannya mumkin al wujud (Alam Semesta). Namun bagaimana kita bisa menemukan asal muasal penciptaan, jikalau teori ini digunakan, jelas bahwa tidak akan ada habisnya.
Dari sinilah kemudian Ibnu Sina menerangkan argumen tentang  Wajib al wujud (Allah) sebagai Esensi mutlak yang menjadi sebab pertama dari segala   macam pergerakan yang ada di alam. Menurut Ibnu Sina, ketika sesuatu wujud membutuhkan sebabyang berada di luar sebab, tidak mungkin juga bersifat  mumkin al wujud sebagai zatnya. Maka analisa logis yang bisa dianalisa dan disimpulkan di sini adalah sebuah kesadaran atas kenyataan Wajib al wujud. Dengan itu Ibnu Sina menyetujui keberadaan alam semesta ini merupakan akibat dari kehendak Tuhan yang menjadikan wujud-wujud alam semesta.

3.         Analisis Perbandingan
Berdasarkan dua konsep ketuhanan yang telah dipaparkan dari dua perspektif filsuf muslim yang berbeda era, agaknya dapat kita ambil beberapa macam kesimpulan di bawah ini sebagai wacana perbandingan:
a.         Al Farabi sebagai filsuf pertama yang bermadzhabkan  Neo-Platonism nampaknya masih terpengaruh banyak oleh Aristoteles. Hal ini terlihat dari penggunaan  istilah-istilah asing yang masih menyisakan hawa Yunani. Sedangkan di tangan Ibnu Sina yang hidup satu abad setelahnya definisi berkaitan dengan ketuhanan terlihat sudah mulai mengalami islamisasi. Seperti ‘illah,  wujud, dan ‘adam. Ini agaknya mafhum, sebagai indikasi bahwa Ibnu Sina berhasil mengembangkan dan mengasimilasi lebih jauh filsafat al Farabi.
b.         Keduanya sepakat akan proses penciptaan yang bernafaskan emanasi, dengan  Wajib al Wujud  yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tuhan dalam pandangan al Farabi dan Ibnu Sina secara umum kita dapati merupakan asimilasi dari filsafat ketuhanan yang berusaha mempertemukan antara teori Aristoteles dan Neo-Platonism.  Yang mana menekankan pada satu Wujud atau Sumber Utama yang darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak merusak kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut. Di sini, sebagai salah satu wacana intelktual Islam, al Farabi dan Ibnu Sina berupaya mengadaptasi dan mengasimilasi konsep-konsep yang adadi dunia Filsafat Yunani Kuno, mengoreksinya, serta mengklasifikasi konsep-konsep filsafat yang cocok dengan Islam.

B.       Konsep Alam di Dalam Filsafat Islam
Al-Ghazali merupakan tokoh penentang filsafat Islam. Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filsuf dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka, dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik. Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”.
Salah satu filsuf Muslim yang mendapat kritikan dari Al-Ghazali adalah Ibnu Rusyd. Menurut Leaman, silang pendapat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sangat menarik karena argumen-argumen yang disampaikan oleh keduanya selalu melahirkan masalah-masalah khusus yang bersifat kontroversial. Contohnya adalah perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang penciptaan alam.


1.         Konsep Alam Al Ghazali
Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta. 

2.         Konsep Alam Ibnu Rusyd
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.
Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada, tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.
Sementara itu, menurut Sulaiman Dunya dalam pengantarnya tentang "Al-Ghazali: Biografi dan Pemikirannya", dalam Terjemahan Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali ini belum menggambarkan secara keseluruhan pemikiran Al-Ghazali. Sebab, komentar AlGhazali tentang kehancuran para filsuf ini, kata Sulaiman, sebelum ia mendapatkan pencerahan petunjuk mengenai `ketersingkapan tabir sufistik' (al-kasyf ash-Shufiyyah). Maksudnya, secara keseluruhan AlGhazali menerima pemikiran filsafat selama pandangan itu sesuai dengan pandangan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.



3.         Konsep Alam Al Farabi
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori Plotinus apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya.
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama, ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta, yang menciptakan dari tiada menjadi ada. Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).
Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82.
 ”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
a.         Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal).
b.         Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud  IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang).
c.         Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus.
d.        Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter.
e.         Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars.
f.          Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari.
g.         Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus.
h.         Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius.
i.           Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.

Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauhdan bintang-bintang tetap. Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah akal kedua dan seterusnya.

C.       Konsep Manusia di Dalam Filsafat Islam
Perbincangan mengenai manusia sudah dimulai sejak jaman Yunani Kuno. Para pemikir jaman Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles sudah mulai memperbincangkan apa itu manusia? Manusia begitu komplek dan mencakup banyak dimensi di dalamnya.
Kemudian tokoh filsafat islam yang dipilih untuk mewakili gagasan tentang manusia tersebut adalah Ibn Rusyd (Averroes). Konsep tentang manusia yang akan dibahas pun langsung difokuskan pada konsep tubuh dan jiwa.
1.         Jiwa
Dualisme mengenal dua jenis wujud yang ada dalam diri manusia. Pertama adalah apa yang digerakkan (bendanya) dan apa yang menjadi penyebab penggerak benda tersebut. Dengan kata lain juga bisa kita definiskan sebagai sesuatu yang jasmani dan spiritual. Bagi Ibn Rusyd, unsur spiritual dalam diri manusia mempunyai kesatuan dan kesempurnaan yang lebih tinggi dari semua yang ada. Namun tetap yang materi pun mempunyai peran yang besar dalam proses pemikiran. Artinya dalam diri manusia bukan lagi terdapat dua substansi melainkan satu "materi" dan "bentuk" sebagai kesatuan dan mempunyai korelasi.
Ibn Rusyd dengan tegas mengatakan bahwa jiwa manusia berhubungan dengan tubuh. Maksudnya kurang lebih bahwa jiwa mempunyai eksistensi hanya sebagai sebuah pelengkap dari tubuh, yang dengannya dipersatukan juga oleh jiwa. Ibn Rusyd dalam tulisannya yang berjudl Fil Nafsi menegaskan bahwa antara nyawa (al-Ruh) dengan jiwa (al Nafis) merupakan dua realitas yang berbeda. Namun yang menarik adalah Ibn Rusyd bahwa ketika berbicara tentang ruh, Ibn Rusyd menggunakan ayat dalam Al Quran di dalam surat al-Isra ayat 85. Isinya kurang lebih mengatakan bahwa ruh itu urusan Tuhanku. Manusia tidak diberika ilmu sedikitpun tentang itu. Kutipan penjelasn di bawah ini bisa langsung menghantar kita untuk semakin jelas mengenali apa itu jiwa: "Jiwa berbeda dengan nyawa, dan juga dengan akal. Jiwa itu suatu zat, dan bukan suatu tubuh. Jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia. Syailul lazi yashbahu bihil insanu insianan, artinya jiwa itu sesuatu yang hidup dan berilmu dan berkodrat".
Kutipan paragraf di atas seolah ingin menekankan bahwa kegiatan jiwa lebih pada seputar kegiatan berpikir. Hal tersebut yang kemudian membuat Ibn Rusyd mendeskripsikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis. Disebut alamiah dan mekanistik dengan tujuan ingin membedakan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari perilaku dan emosi. Makna kesempurnaan ini pun ingin juga mengarahkan pada keberagaman dari bagian jiwa, jiwa khayalan, jiwa hasrat, jiwa rasional, dll. Definisi tersebut sebenarnya sudah dipakai oleh Aristoteles dalam mendeskripsikan jiwa. Jiwa itu hakikatnya adalah satu. Ibn Rusyd sering menyebut kesatuan jiwa itu sebagai jiwa umum.

2.         Akal Sebagai Wujud Jiwa
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia. Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan". Akhirnya Poerwantana dalam bukunya menyimpulkan bahwa akal yang dimaksud Ibn Rusyd ini dianggap sebagai monopsikisme. Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia. "...pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)." Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan setelah kematian. Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.

3.         Panca Indera
 Melihat latarbelakang filsafat Ibn Rusyd yang banyak mendasarkan diri pada pemikiran Aristoteles, hal itu juga terungkap dalam ajaran Ibn Rusyd dalam memandang tubuh. Berbeda dengan Plato yang menganggap bahwa tubuh hanya menjadi penjara bagi jiwa. Antara tubuh dan jiwa mempunyai sebuah korelasi. Korelasi tersebut secara jelas bisa terlihat dalam proses pengenalan rational. Secara khusus, saya sulit untuk menemukan definisi Ibn Rusyd tentang apa itu tubuh? Ibn Rusyd lebih banyak menjabarkan tentang aktivitas jiwa yang berkorelasi dengan tubuh. Salah satu konsep yang akan kita jabarkan adalah panca indera. Karena di dalamnya kita bisa langsung menangkap bagaimana tubuh pun mempunyai peran dan berkorelasi dengan jiwa.
Ibn Rusyd menjabarkan bahwa panca indera itu adalah indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan terakhir peraba. Pengelihatan berfungsi menerima makna secara bebas dari akal potensial, yang bagaimanapun merupakan makna-makna yang bersifat individual. Daya pengelihatan mempersepsi dengan menggunakan perantara transparansi. Pendengaran, intinya bahwa dengan menggunakan penedengaran manusia mampu menangkap suara-suara yang muncul akibat benturan dari benda-benda keras. Udara yang bergerak akibat benturan dari benda keras sampai ketelinga. Udara tersebut kemudian menggerakkan udara yang ada dalam telinga sebagai bagian dari tubuh yang berfungsi sebagai alat pendengaran. Ketiga indera Penciuman. Bagian dari fungsi tubuh yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap bau. Indera ini membutuhkan air dan udara sebagai perantaranya. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa penciuman manusia lebih lemah daripada hewan. Keempat, indera pengecapan (perasa). Sebuah daya untuk menangkap rasa sesuatu. Kerjanya dengan meletakkan objek di atasnya. Kelima, indera peraba. Sebuah daya jiwa yang menggunakan tubuh untuk mengenali objek. Daya yang mengalami kesempurnaan karena berbagai hal yang diraba.




BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Al Farabi (260-339 H/ 873-950 M) adalah salah seorang filsuf Muslim yang mengasimilasi konsep ketuhanan Aristoteles, dan barulah sekitar satu abad berikutnya Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M) datang dengan konsep yang mengasimilasi lebih jauh filsafat Aristoteles, sekaligus menyempurnakan karya al Farabi. Al Farabi mengatakan Allah merupakan  Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang ada dan merupakan sebab pertama bagi setiap yang bergerak. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, ia tidak bisa disamakan dengan materi yang lain di alam. Ibnu Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan sebagaimana berikut, “Sesungguhnya sebab (‘illah) atas tidak ada (‘adam)-nya sesuatu adalah sebab ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah perihal yang mewajibkan daripadanya wujud.” Di sini Ibnu Sina mengawali pendapatnya dengan sebuah kelaziman betapa setiap  yang ada wajiblah daripadanya sebab yang menjadikan ada itu ada.
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada, tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan. Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain.
tokoh filsafat islam yang dipilih untuk mewakili gagasan tentang manusia tersebut adalah Ibn Rusyd. Konsep tentang manusia yang akan dibahas pun langsung difokuskan pada konsep tubuh dan jiwa. Ibn Rusyd dengan tegas mengatakan bahwa jiwa manusia berhubungan dengan tubuh. Maksudnya kurang lebih bahwa jiwa mempunyai eksistensi hanya sebagai sebuah pelengkap dari tubuh, yang dengannya dipersatukan juga oleh jiwa.

B.       Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun penyajian. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan untuk perbaikan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

   http://gopesantren.com/UNIVERSITY zone/AKADEMISI/SEMESTER 5/FILSAFAT ISLAM BANKAAAAAAAAIIIII/Konsep Ketuhanan al Farabi dan Ibnu Sina.docx#_ftn1




HADIST, PENGERTIAN PEMBAGIAN DAN FUNGSI HADIST

HADIST, PENGERTIAN PEMBAGIAN DAN FUNGSI HADIST


KATA  PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang pengertian, pembagian dan fungsi Hadist. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Ilmu Hadist” yang menjelaskan tentang pengertian, pembagian dan fungsi Hadist.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Agama yang telah membimbing penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.



DAFTAR ISI

Kata Pengantar 
Daftar isi 
BAB I ( PENDAHULUAN )
            A. Latar Belakang
            B. Tujuan Pembahasan
            C. Rumusan Masalah
BAB II ( PEMBAHASAN )
            1. Pengertian Hadist
            2. Pembagian hadist Secara Umum
            3. Fungsi Hadist
BAB III ( PENUTUP )
            A. Kesimpulan 
            B. Saran dan Kritik
Daftar Pustaka



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan bukti histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan pengetahuan lainnya.

Menatap prespektif keilmuan hadist, sungguh pun ajaran hadist telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.

Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya) hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.


B. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. mengetahui definisi Hadits
2. mengetahui macam-macam hadits serta penjelasannya
3. mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits

C. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:
1. Apa definisi ilmu hadits?
2. Apa saja pembagian hadits itu?
3. Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

2. Pembagian Hadits Secara Umum
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan. 

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah: 


"Suatu hasil hadist tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."


Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."



Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadist itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu. 

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir 
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : 
  1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. 
  2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
  • Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
  • Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
  • Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
  • Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.



Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H). 


2. Hadist Ahad
a. Pengertian hadist ahad
Menurut Istilah ahli hadist, tarif hadist ahad antara lain adalah:

Artinya:
"Suatu hadist (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadist mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadist tersebut masuk ke dalam hadist mutawatir: " 

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut: 

Artinya:
"Suatu hadist yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir." 


b. Faedah hadist ahad
Para ulama sependapat bahwa hadist ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadist mutawatir. Hadist ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadist tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadist tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadist mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadist, ialah memeriksa "Apakah hadist tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahwa hadist itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadist itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadist, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh. 


B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIST 
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadist. Bila dua buah hadist menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.

Jika dua buah hadist memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis tyang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan." 

Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.

Kata - kata 



(dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadist ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.

Contoh hadist :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya." 
Awal hadist tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadist yang demikian bukan termsuk hadist mutawatir.

Kata -kata
 (dan sandaran mereka adalah pancaindera)






seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.

Bila dua hadist memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadist yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadist yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadist ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadist berasal dari Rasulullah.

Hadist yang tinggi tingkatannya berarti hadist yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadist itu berasal Rasulullah SAW. Hadist yang rendah tingkatannya berarti hadist yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadist sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadist ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadist sahih, hadist hasan, dan hadist daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadist-hadist tersebut menjadi hadist sahih, hasan, dan daif.


1. Hadist Shahih
Hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yng bersih dari cacat, hadist yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadist sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadist sahih adalah hadist yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit." 
Keterangan lebih luas mengenai hadist sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadist Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :"yang kami sebut hadist hasan dalam kitab kami adalah hadist yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadist yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadistnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadist yang demikian kami sebut hadist hasan." 
3. Hadist Daif
Hadist daif menurut bahasa berarti hadist yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadist itu berasal dari Rasulullah SAW.

Para ulama memberi batasan bagi hadist daif :
Artinya :
"Hadist daif adalah hadist yang tidak menghimpun sifat-sifat hadist sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadist hasan." 
Jadi hadist daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadist sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadist hasan. Pada hadist daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadist tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW. 


C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH 
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadist perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang sek sama khususnya hadist ahad, karena hadist tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadist mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadist ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. 
a. Hadist Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadist Maqbul ialah:

Artinya :
"Hadist yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadist maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadist maqbul adalah:
* Hadist sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadist hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadist tersebut di atas adalah hadist-hadist maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadist yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadist-hadist yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadist Rasulullah SAW.

Adapun hadist maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadist nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadist-hadist maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadist yang kuat disebut dengan hadist rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadist marjuh. 
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadist maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadist maqbulun bihi dan hadist gairu ma'mulin bihi.
1. Hadist maqmulun bihi 
Hadist maqmulun bihi adalah hadist yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadist ini ialah:
  • Hadist muhkam, yaitu hadist yang tidak mempunyai perlawanan 
  • Hadist mukhtalif, yaitu dua hadist yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
  • Hadist nasih
  • Hadist rajih.
2. Hadist gairo makmulinbihi
Hadist gairu makmulinbihi ialah hadist maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadist-hadist maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
  • Hadist mutawaqaf, yaitu hadist muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
  • Hadist mansuh
  • Hadist marjuh. 
  • Hadist Mardud 
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadist mardud ialah :

Artinya :
"Hadist yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan." 
Ada juga yang menarifkan hadist mardud adalah:

Artinya :
"Hadist yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadist Maqbun." 

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadist-hadist maqbul, maka sebaliknya setiap hadist yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadist mardud adalah semua hadist yang telah dihukumi daif. 


D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA 

1. Hadist Muttasil 
Hadist muttasil disebut juga Hadist Mausul.
Artinya :
"Hadist muttasil adalah hadist yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadist marfu' maupun hadist mauquf." 
Kata-kata "hadist yang didengar olehnya" mencakup pula hadist-hadist yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadist Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadist yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadist yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.

Contoh Hadist Muttasil Marfu' adalah hadist yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya :
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya" 
Contoh hadist mutasil maukuf adalah hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya :
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya." 

Masing-masing hadist di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadist Maqtu yakni hadist yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadist maqtu termasuk jenist Hadist muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadist maqtu tidak dapat disebut hadist mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadist mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadist ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadist maqtu sebagai hadist mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadist mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadist yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadist maqtu' adalah lawan Hadist mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.

2. Hadist Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.

Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

Artinya :
"Hadist Munqati adalah setiap hadist yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
Hadist yang tidak bersambung sanadnya adalah hadist yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya :
Setiap hadist yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadist Munqati' (terputus) persambungannya." 

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadist, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadist munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadist yang terputus sanadnya.

Adapun ahli hadist Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya :
"Hadist Munqati adalah hadist yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad." 
Definisi ini menjadikan hadist munqati' berbeda dengan hadist-hadist yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadist mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadist mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadist muallaq.

3. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN 
Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman- firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. 
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. 
Keterkaitan keduanya tampak antara lain: 

1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al- quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :

Hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana 
diwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al 
Baqarah/2:183 )

Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut: 
Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim) 

2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global. 
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat : 

“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah / 2:110) shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW: 

Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim) 

Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari) 

3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan 
wasiat: 

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180) 

Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan. 

4.  Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat 
umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah: 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3) 
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW: 
Dari  Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni) 

5.  Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini: 

Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang 
bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas) 

‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran. LANJUTKAN KE BAB III KESIMPULAN MAKALAH HADIST