Ciri-Ciri Penduduk Surga
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan surga bagi
hamba-hamba yang beriman dan menciptakan neraka bagi orang-orang kafir. Salawat
dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para sahabatnya,
dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Berikut ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.
1. Beriman dan beramal salih
Allah ta’ala berfirman,
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan
beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai…” (Qs.
al-Baqarah: 25)
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
وأنَّ الإيمانَ قَولٌ باللِّسانِ، وإخلاَصٌ بالقلب، وعَمَلٌ
بالجوارِح، يَزيد بزيادَة الأعمالِ، ويَنقُصُ بنَقْصِها، فيكون فيها النَّقصُ وبها
الزِّيادَة، ولا يَكْمُلُ قَولُ الإيمانِ إلاَّ بالعمل، ولا قَولٌ وعَمَلٌ إلاَّ
بنِيَّة، ولا قولٌ وعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلاَّ بمُوَافَقَة السُّنَّة.
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan
amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan
berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami
pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna
ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak
sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan,
amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan
as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul
Muhsin al-Abbad, hal. 47)
al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin
Affan radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah
mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan,
“Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang
benar, sabar, dan ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
2. Bertakwa
Allah ta’ala berfirman,
لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di sisi Rabb
mereka berupa surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal
di dalamnya, begitu pula mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta
keridhaan dari Allah. Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan
jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang yang bertakwa kepada
Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja
yang diperintahkan Allah kepada mereka dalam rangka menaati-Nya dan karena
mengharapkan balasan/pahala dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja
yang dilarang oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan
tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar
al-‘Aqidah 1423 H).
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai
berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan
syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan
kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka
hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan
tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang
(lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin
al-‘Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu
faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan
senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik
hamba dalam segala keadaannya (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam
ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj
al-I’lami)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa
keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu
Allah memerintahkan (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah,
mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang
disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga
diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan
terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan
berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan
-terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia
termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan
pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat
menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah al-Jabbar.
Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan menimbulkan keridhaan
ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir
al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan,
bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat ketakwaan yang
tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab)
dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib
telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam,
hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat
dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang
orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang
menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan
ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang
bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah
kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar
bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan
bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang
wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah
bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan
antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan
segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah.
Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu
adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata,
“Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah
karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan
kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (dinukil
dari Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang
sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan
anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian
itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (Qs.
al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada
Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan
sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan
itu sumbernya di sini.”Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR.
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id,
hal. 136 cet. Dar al-‘Aqidah 1425 H)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh
meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan
kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau
adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu
dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang
senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau
juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak
berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan
para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak
pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang
seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk
melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau
lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan
syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah
juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan
batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila
disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar
al-‘Aqidah 1425 H)
3. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah
akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa': 13)
Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru
untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di
antara mereka maka jawaban mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)
Allah ta’ala menyatakan,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah
taat kepada Allah.” (Qs. An-Nisaa’ :
80)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul,
ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah,
sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan
sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang
membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan
rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi
dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun
sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya
antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan
yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan
Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang
benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka
adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh
karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling
sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau
dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya
sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur
kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan
besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-‘Aqidah)
Allah ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي
قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhir berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya meskipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka,
saudara-saudara mereka, maupun sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
yang ditetapkan Allah di dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan
pertolongan dari-Nya, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah,
ketahuilah sesungguhnya hanya golongan Allah itulah orang-orang yang
beruntung.” (Qs.
al-Mujadalah: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ
وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ».
“Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena
Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh
dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih
wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman
salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan
anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ
الْأَنْصَارِ
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri
kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
5. Berinfak di kala senang maupun susah
Allah ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ
النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا
فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا
لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى
مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu
orang-orang yang menginfakkan hartanya di kala senang maupun di kala susah,
orang-orang yang menahan amarah, yang suka memaafkan orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan
keji atau menzalimi diri mereka sendiri maka mereka pun segera mengingat Allah
lalu meminta ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan siapakah yang mampu mengampuni
dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus menerus melakukan dosanya
sementara mereka mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)
Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang
yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan padanya.
Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada
perkara gaib, mendirikan sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami
berikan kepada mereka.” (Qs.
al-Baqarah: 1-3)
Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di
atas mencakup berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk
istri dan kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak
yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas
Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan
bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak
akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka
sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang
lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka
miliki merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan
mereka semata. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya
dengan cara mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka
dan untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
6. Memiliki hati yang selamat
Allah ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى
اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan
keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara: 88-89)
Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan
tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan
tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet
Maktabah Taufiqiyah)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa
hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan
keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas
darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119],
lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah)
Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan
bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid,
Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati
yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan
kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang
terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan
larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan
berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari
penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum
kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati
yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai
keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya
hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang
berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan
memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya
pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang
dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet.
Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan
karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka
cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila
dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka
itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Demikianlah sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran
ini. Semoga bermanfaat bagi yang menulis, membaca maupun yang
menyebarkannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi
wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
0 komentar:
Post a Comment